18 Februari 2009

Pemulung dan Pengemis

Lalu lintas kota sedang padat dan ramai, dan mobil-mobil melaju pelan. Para pekerja banyak yang pulang dan sebentar lagi malam.
“Melamun?” sapa Si pemulung pada Si pengemis yang tengah duduk di emper sebuah toko yang sudah tutup dengan diterangi cahaya lampu tamaram.
“Ah, kau rupanya. Bagaimana hari ini?” tanya Si pengemis.
“Aku tak terlalu mujur, tak banyak barang yang kudapat. Kau sendiri?”
“Ah, tak banyak orang beramal di hari minggu. Para encik dan koko banyak yang pergi ke gereja. Mereka mengeluarkan uangnya di sana.”
“Oh, mungkin. Kau sudah makan?”
Si pengemis menggeleng.
“Mari,” ajak Si pemulung. “Aku yang traktir.”
Si pemulung berjalan menuju warung tegal langganan mereka, Si pengemis mengikutinya dan sekarang mereka berjalan tampak sejajar.
“Kau masih ingin mengawininya?” tanya Si pengemis.
“Ya, Aku mengumpulkan uang untuk itu. Aku jadi giat bekerja. Kau sendiri, lebih setengah abad kau, kapan kawin?”
“Entahlah! Yang pasti, untuk saat ini tak mungkin. Tidak mungkin Aku menafkahi anak-istriku cukup dengan satu bungkus nasi timbel.”
“Kau bisa cari perempuan yang mengerti keadaanmu.”
“Tak bisa. Bagiku tak bisa.”
“Kenapa? Calon istriku mau menikahiku. Dia mengerti keadaanku. Dia baik.”
“Tidak, bagiku tidak,” kata Si pengemis. “Aku bisa saja hidup dijalan, dibakar matahari legam, diguyur hujan kuyup, tak berbaju dan kelaparan. Aku bisa tahan, sampai mati Aku takkan peduli.” Dia menatap jalan raya tetapi tatapannya kosong. Kemudian, melanjutkan bicaranya. “Tapi, anak-istriku harus tidur di rumah, harus berbaju indah, harus makan tiga kali tiap hari.” Raut wajahnya berubah. Sekilas, dia tersenyum. “Harus ada senyum untuk mereka.” Katanya, melanjutkan. Perlahan, senyum itu hilang, berganti raut kecut penuh kesedihan seperti orang yang sedang menyesali masa lalunya. “Ah, Aku takkan tega bila membiarkan mereka sampai hidup sepertiku.”
Sejenak, Si pemulung menatap mata Si pengemis dalam-dalam. Kemudian dia bicara. “Aku juga takkan tega. Tapi Aku yakin bisa menafkahi mereka. Di kota ini tak sulit mendapatkan plastik dan barang lain yang laku dijual, berceceran di mana-mana. Aku tinggal memungutnya, lalu menjualnya. Dan Aku akan punya uang.”
“Ya, kau bisa, Aku yakin kau pasti bisa,” kata Si pengemis. “Kau muda, percaya diri, dan penuh semangat. Kau punya segalanya.”
“Tidak, bung, Aku tak punya pekerjaan.”
“Tapi kau selalu punya uang.”
“Persoalannya bukan uang, tapi kemauan. Kenapa kau tak mau kawin?”
“Sudah kubilang, Aku takkan tega membiarkan anak-istriku kelaparan.”
“Bukan. Aku yakin bukan itu alasan yang sebenarnya.” Sanggah Si pemulung. “Ayolah, bung, ceritakanlah padaku.”
Si pengemis menghentikan jalannya, dan menatap baik-baik Si pemulung, sebelum kemudian berkata. “Aku suka hidup sendirian.”
Si pemulung balas menatap, dan mereka saling tatap dengan tatapan yang dalam. “Kenapa?”
Tegas Si pengemis menjawab. “Aku tak suka punya beban. Aku ingin bebas, hidup bebas... Aku hidup, untuk diriku sendiri.”
Pelan Si pemulung bergerak mendekat pada Si pengemis. Kemudian dirangkulnya Si pengemis dan berkata. “Hidup untuk diri sendiri,” pikir Si pemulung. “Hmm, hidup untuk diri sendiri,”
“Hidup untuk diri sendiri!” pekik Si pengemis, dan mulai tertawa.
“Hidup! Untuk diri sendiri.” Pekik Si pemulung, dan juga mulai tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa sepanjang jalan.
Di perempatan jalan dan di Situ terdapat lampu merah, mereka berbelok dan masuk ke sebuah warung tegal.
“Kalian tampak bahagia sekali, dapat duit banyak?” sapa Si penjaga warung.
“Tak penting duit, yang penting perut tak lapar,” kata Si pemulung, masih dengan tawanya dengan satu tangannya memegang perut.
“Dan hidup! Untuk diri sendiri,” sahut Si pengemis. Mereka tertawa tambah keras.
“Dasar gila!” kata Si penjaga warung dan berpaling.
“Apa katanya?” tanya Si pengemis pada Si pemulung.
“Gila!” kata Si pemulung pada Si pengemis. “Gila, katanya?”
Si pengemis mulai tertawa, Si pemulung mengikuti. Mereka tambah keras tertawa.
Si pemulung mengakhiri tawanya, “Buatkan Aku porsi yang biasa,” katanya pada Si penjaga warung. Dia berpaling pada Si pengemis. “Kau?”
“Sama, seperti biasa,” jawab Si pengemis.
“Sebaiknya kau ubah jenis makananmu, tak bergizi,” ujar Si pemulung pada Si pengemis.
“Aku tak perlu gizi, Aku perlu tidur nyenyak dengan perut terisi.”
“Tubuhmu sudah terlalu kerempeng, mati kau sebentar lagi.”
“Kalau mati, ya mati, Aku tak peduli.”
Si penjaga warung menyerahkan dua piring nasi dari balik lemari kaca tempat makanan tersaji. Si pemulung menerimanya.
“Aku masih ingin kawin sebelum mati,” kata Si pemulung pada Si pengemis sambil menyerahkan satu piring ke Si pengemis. “Kau pernah mencintai seseorang?”
Si pengemis menjawab. “Aku tak pernah memikirkannya lagi, itu sudah lama.”
“Kau pernah, ceritakanlah padaku.”
“Sudah kubilang, Aku tak pernah memikirkannya lagi,” kata Si pengemis, dengan nada sedikit keras. Dan lemah dia bicara. “Aku tak mau memikirkannya lagi.”
Si pemulung menghentikkan suapannya, dia merangkul bahu Si pengemis. “Ceritakanlah, sobat.”
Si pengemis diam sejenak. Dia menatap pada Si pemulung, lalu berpaling pada Si penjaga warung. “Ibunya,” kata Si pengemis sambil menuding Si penjaga warung. “Aku mencintai ibunya.”
“Terus?”
“Dia tidak mencintaiku, sama sekali,” jelas Si pengemis. “Aku sakit hati terhadapnya.”
Si pemulung melirik ke dalam warung, pada Si penjaga warung. Dia sedang menggoreng ikan teri.
“Hey, kamu!” sahut Si pemulung pada Si penjaga warung. Si penjaga warung melirik padanya. “Sini!”
Si penjaga warung menghampiri.
“Kenapa ibumu tidak mencintai temanku ini?” tanya Si pemulung pada Si penjaga warung.
Si penjaga warung menatap Si pengemis, lalu berpaling pada Si pemulung. “Dia? mana Aku tahu.”
“Panggil ibumu!” Seru Si pemulung.
“Ibu pergi,” jawab Si penjaga warung.
“Pergi kemana dia?” Tanya Si pemulung.
“Pergi ke surga,” Jawab Si penjaga warung, ketus.
“Oh!” sahut Si pemulung. “Kalau begitu, mana ayahmu. Pasti karena dia temanku ini tidak bisa mendapatkan ibumu.”
“Dia juga mati,” jawab Si penjaga warung. “Mereka diracun.”
Si pengemis tersedak. Dia mengambil gelas, dan meminum airnya lekas.
Si penjaga warung menatap Si pengemis. “Jangan-jangan, kau yang racun, ya?”
Si pengemis menghentikkan suapannya. Dia bangkit dari duduknya. “Heh, kenapa kau ini?” Penuh emosi dia menatap Si penjaga warung. “Aku hanya tersedak, salahkah?”
“Itu sebuah indikasi,” ujar Si penjaga warung.
“Heh, ada bawang putih di masakanmu. Aku alergi bawang putih,” sahut Si pengemis. Si penjaga warung menunduk. Si pengemis kembali duduk dan makan.
Si pemulung menatap Si penjaga warung dan berbicara padanya. “Kau mesti minta maaf pada temanku ini. Pahit benar kau tuduh dia”
“Aku tak mau,” jawab Si penjaga warung sambil mengusap lemari kaca dengan lap.
Cepat Si pemulung berdiri. Keras tangannya menggebrak lemari kaca. Piring-piring makanan tampak bergetar dan nyaring berbunyi. Dengan nada tinggi dia bicara pada Si penjaga warung. “Jangan karena kami gembel, kau segan meminta maaf. Dengar baik-baik anak ingusan, kami punya harga diri tinggi! Setidaknya, itu yang selalu kami banggakan,” Dengan nada lebih rendah, Si pemulung berkata. “Sekarang, kau minta maaf pada temanku ini.”
Si penjaga warung diam.
Lebih keras, Si pemulung menggebrak lemari kaca. “Cepat! Atau warungmu Aku hancurkan. Perlu kau tahu, Aku tak takut penjara, lantainya sama dinginnya dengan lantai beton emperan toko.”
Si penjaga warung membuka suara. Dia menatap pada Si pengemis. Lemah dia bicara. “Baiklah, Aku minta maaf.”
Si pemulung duduk kembali. “Bagus! Seperti itulah seharusnya kau bertindak.”
Si penjaga warung meneruskan bicara. “Aku bukan ingin melecehkan harga diri kalian. Aku hanya kesal dengan dia. Hanya kesal saja.”
“Temanku tak bersalah apa-apa padamu,” kata Si pemulung. “Sebaiknya kau tak perlu kesal padanya.”
“Aku tahu. Tapi Aku kesal padanya, benar-benar kesal!” ujar Si penjaga warung, ketus.
Si pengemis menghentikkan suapannya. Dia bangkit dan amarahnya tersulut. Dia memelototi Si penjaga warung. “Kau mau Aku hajar, hah! Kau mau?”
“Sudah, sudah,” kata Si pemulung. “Kita ke Sini untuk makan, bukan untuk ribut. Dia sudah meminta maaf, itu yang paling penting.” Dia menatap pada Si penjaga warung dan berbicara padanya. “Sebaiknya kau pergi dari hadapan kami.”
Si penjaga warung berpaling dan pergi menemui gorengannya. Ikan teri gorengnya sudah sangat gosong dan dia mengutuki mereka berdua karena itu.
“Kita tak perlu keras padanya sebenarnya. Tapi dia harus minta maaf padamu,” kata Si pemulung.
“Ada baiknya kita bersikap keras. Kau lihat, dia masih bocah dan hidup sendirian. Aku kasihan padanya,” kata Si pengemis.
Kemudian, Si pemulung beranjak dari duduknya dan menghampiri Si penjaga warung dengan membawa kantung kain lusuh yang diikat ujungnya.
“Ada apa?” Tanya Si penjaga warung.
“Kami sudah selesai. Berapa semuanya?”
“Dua porsi?”
“Ya, makanan kami berdua.”
Sebentar Si penjaga warung menghitung, kemudian menjawab. “Enam ribu lima ratus.”
Si pemulung mengeluarkan recehan dari kantungnya. Si penjaga warung mengambil dan menghitungnya perlahan.
Tanpa menatap, Si penjaga warung bicara pada Si pemulung. “Maaf, Aku sedikit kasar pada kalian. Aku hanya teringat orang tuaku.”
“Ya, Aku mengerti.” Jawab Si pemulung. “Hanya saja kau tak boleh kasar padanya.”
“Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kesal padanya. Ya, hanya ingin.”
“Mungkin sebaiknya kau segera tutup warung ini, dan berjalan-jalan sebentar.”
“Ya, mungkin.” kata Si penjaga warung. Dia sudah selesai menghitung uangnya, dan memasukkannya ke dalam laci meja. Dia menatap Si pemulung. “Kau mau kemana setelah ini?”
“Aku tak punya tempat tinggal, dia juga. Kami tidur di mana saja, jembatan penyeberangan favoritku, kami jarang ditemukan aparat di tempat itu. Tapi dia lebih suka tidur di parit, katanya itu lebih aman. Menurutku tinggal di rumah paling aman. Aku ingin menikah dan punya rumah. Aku ingin, sedang berusaha sekarang.”
“Menikah?”
“Ya, tentu, Aku ingin menikah.” Si pemulung menatap Si pengemis. Dia sedang mengorek-ngorek sela giginya dengan tusuk gigi di bangku depan.
“Aku tak tahu bagaimana nasib dia selanjutnya,” kata Si pemulung sambil menatap pada Si pengemis. “Nanti Aku akan meninggalkannya dan dia sendirian. Dia sering tak punya uang, Aku kasihan padanya.”
“Aku tidak,” kata Si penjaga warung.
Si pemulung berpaling pada Si penjaga warung. “Dengar,” katanya pada Si penjaga warung. “Nanti kalau Aku benar menikah dan meninggalkannya, kau biarkan saja dia makan di Sini, Aku yang bayar. Tiap akhir bulan kau kasih Aku tagihannya dan Aku akan membayarnya, mengerti?”
Si penjaga warung mengangguk. “Kau sangat baik padanya,” kata Si penjaga warung. “Kenapa kau baik padanya?”
Penuh pikiran Si pemulung menjawab. “Dia orang yang memungutku. Usiaku dua tahun waktu itu. Dibesarkanlah Aku, dan dididik pula.” Si pemulung sedikit tersenyum, lalu mencondongkan kepalanya ke arah Si penjaga warung. “Kau tahu, Aku menganggapnya ayah.”
Dari bangku makan di depan warung, Si pengemis memanggil Si pemulung.
“Sebentar,” sahut Si pemulung. Dia kembali bicara pada Si penjaga warung. “Aku sudah dipanggilnya. Kau ingat pesanku, bukan?”
Si penjaga warung mengangguk.
“Ingat itu baik-baik. Aku pergi dulu.”
Si pemulung menghampiri Si pengemis.
Si pengemis bangkit dari duduknya. “Kau lama sekali. Kau berbincang apa dengannya?” Dia melangkah perlahan, Si pemulung mengikutinya.
“Uangku recehan,” jawab Si pemulung. “Penjaga warung itu kesulitan sekali menghitungnya.”
“Dia memang brengsek!”
“Tidak, bung, hari ini dia sedang kesal. Kau tahulah, gadis muda dengan masa awal menstruasi, pasti sulit baginya.”
Mencoba mengerti, Si pengemis menjawab. “Ya, pasti sulit baginya, apalagi dia sendirian. Kasihan juga, tanpa ayah dan ibu. Padahal dia cantik, secantik ibunya. Aku sempat gila membayangkan dia adalah anakku sendiri. Haha...Ya, andai Aku dulu kawin dengan ibunya, dia jadi anakku. Ah, kalau dia anakku, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang anak gadis yang cantik, yang tubuhnya dihiasi perhiasan. Dia tidak usah bekerja keras sendirian seperti itu, memakai celemek kucel dengan wajah kumal penuh debu dapur, beraroma asap kompor dan rambut kusut karena dibilas minyak sayur. Dia mesti tinggal di rumah, dengan tubuh bersih dan memakai baju indah, mengenakan perhiasan, memakai wewangian, dan rambutnya bersih terurai. Dia pasti sangat cantik, anakku yang cantik...”
“Ya, mungkin itu yang dia harapkan.”
“Mungkin,” sahut Si pengemis. Dia menghentikkan jalannya, Si pemulung mengikuti. “Dengar, Aku minta satu hal padamu.”
Si pemulung memandangi Si pengemis.
“Kau selalu punya uang, kan? Ya, kau ada harapan,” kata Si pengemis. “Dengar, jika nanti kau punya cukup uang, tolong rawatlah dia dengan baik, rawat seperti anakmu sendiri.”
“Aku...”
“Ya. Rawat dia sepeti anakmu sendiri”
“Tapi...”
“Rawatlah dia seperti Aku merawatmu dulu. Setidaknya itu yang kuharap darimu.”
Pelan Si pemulung menjawab. “Ya, Aku mengerti.”
“Bagus!” Si pengemis menepuk-tepuk bahu Si pemulung. Ditatapnya mata Si pemulung, dan tersenyum.
Malam semakin larut dan mereka meneruskan perjalanan. Kota sudah sangat sepi dan mereka berjalan dibawah Siraman cahaya kuning lampu jalan.
“Kau tahu, Aku sudah menganggapmu sebagai ayahku sendiri,” kata Si pemulung.
“Ya, Aku tahu,” sahut Si pengemis.
“Benarkah?”
“Tentu Aku tahu, karena Aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri.”
Si pemulung berhenti sejenak. Diperhatikannya Si pengemis, beberapa lama, kemudian meneruskan jalannya mengejar langkah Si pengemis.
“Malam ini kita tidur di mana?” Tanya Si pemulung.
“Terserah kau,” sahut Si pengemis.
“Bagaimana kalau jembatan penyeberangan?”
“Aku suka berguling, Aku takut jatuh.”
“Kau takut mati, rupanya.”
“Tidak, Aku hanya takut ketinggian.”
“Baiklah. Bagaimana kalau jembatan di atas sungai?”
“Kau suka sekali jembatan rupanya. Tapi baiklah, Aku turut padamu.”
Di atas jembatan yang membentang menyatukan dua jalan kota, mereka berhenti. Jembatan itu tak begitu lebar dan panjang, dan tak banyak mobil yang melewatinya pada malam larut. Akan tetapi mereka berbaring di pinggirannya saja. Keadaan sungguh gelap dan angin berhembus sesekali, begitu dingin dan mereka tak berselimut, meringkuk seperti tikus kena racun.
“Besok Aku akan dapat uang, kau tak usah mentraktirku lagi,” kata Si pengemis.
“Aku senang bisa mentraktirmu, sungguh,” sahut Si pemulung.
“Tapi Aku akan punya uang, kau tidak usah mentraktirku.”
“Baiklah,” kata Si pemulung. “Sekarang kita mesti tidur. Selamat malam!”
“Ya.”
“Po?”
“Ada apa lagi?” sahut Si pengemis. Dia sudah tampak begitu mengantuk dan begitu malas untuk berbincang.
“Boleh Aku memanggilmu ayah?”
“Ya!”
“Selamat malam, ayah!”


Ditulis di Bandung, pada tanggal 19 juni 2008.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan terbaru Blog saya lainnya

  • Hasil Lengkap Piala Oscar - Academy Awards 2009 Slumdog Millionaire Jawara! *Slumdog Millionaire sapu bersih delapan piala Oscar. Siapa lagi yang berhasil bawa pulang penghargaan film...
  • Angkatan 2005 di Facebook. - Biographers yang nongkrong di Facebook, sekarang bisa gabung ama grup alumni SMA Negeri 1 Karawang Angk '05. O ya, kalo entar Biographers yang gabung di Fa...